Otak Anak Kita
Sabtu, 28 November 2020
ARTIKEL
Selasa, 31 Oktober 2017
Pembelajaran sosial (Bagian Kedua)
PEMBELAJARAN SOSIAL (Bag kedua)
PENGETAHUAN,
KETERAMPILAN DAN SIKAP YANG DIBANGUN PADA PEMBELAJARAN SOSIAL
A. PENGETAHUAN
Pembelajaran sosial membelajarkan anak sense of history, dimana anak mengenal
sejarah masa lampau kemudian mereka dibuat seolah berada pada peristiwa sejarah tsb. Anak tahu bahwa peristiwa saat ini mempunyai hubungan dengan
sebuah peristiwa sejarah masa lampau. Sehingga akan muncul sikap menghargai
sejarah masa lampa. Bagiaman caranya yaitu melalui presentasi tentang peristiwa faktual sejarah
masa lampau, kemudian melalui mempelajari bibliography tokoh-tokoh terkenal seperti presiden, para pahlawan atau tokoh-tokoh dunia . Selain
itupun mereka dapat diberikan tugas
membaca fiksi-fiksi sejarah.
Konsep Geografi pada pembelajaran sosial
mendorong anak agar memiliki koneksi ruang dan tempat mereka tinggal,
lingkungan terdekat sampai pada lingkungan yang lebih luas. Mengenal lokasi
daerahnya, negaranya bahkan di bagian dunia mana mereka berada. Melalui pembelajaran perlu dibangun sikap
menghargai terhadap lingkungan fisiknya dimana mereka tinggal serta budaya di
sekelilingnya serta bagaimana mereka bisa
memanfaatkan sumber-sumber di
lingkungannya untuk kemajuan yang lebih baik lagi di masa mendatang.
Konsep anthropology dan sosiologi pada
pembelajaran sosial mengajarkan anak pengetahuan dan pemahaman bahwa budaya
yang beragam di masyarakat sekitar mereka maupun secara global terus berkembang
dengan pesatnya. Mereka diajarkan untuk mengenal bahwa setiap budaya yang
mereka temui memiliki kontribusi dalam eksplorasi sistem nilai yang terjadi di
masyarakatnya. DI skala global dikenal ras dan ethnic group yang
persoalannya cukup kompleks. Namun
dengan aktifitas pembelajran sosial yang baik perencanaan dan strukturnya, maka dapat membangun sikap yang positif pada diri anak dalam memandang persoalan tersebut.
Selain hal di atas, konsep sosiologi, juga
ekonomi dan politik dapat menjadikan anak memahami tentang sebuah institusi
(lembaga) yang ada di masyarakatnya. Mereka belajar tentang peran mereka dalam
sebuah kelompok masyarakat. Pada pembelajaran ekonomi anak tahu tentang konsep
profesi (pekerjaan), konsep produksi, konsep konsumsi. Konsep ini perlu
dibangun kuat dan powerful ke anak, dan juga perlu dibangun keterampilan
berpikir kritis melalui ini. Konten ekonomi di masa-masa Sekolah Dasar dibelajarkan
melalui cara menghubungkannya dengan peristiwa-peristiwa yang dekat mereka, seperti
kegiatan membeli, menjual, transaksi saat terjadi jual beli di sekitar mereka,
proses produksi makanan, minuman atau sebuah benda yang mereka lihat di sekitar
mereka juga cara melayani pembelinya, serta keaslian material yang digunakan
dan terlihat di sekitar mereka.
B. KETERAMPILAN
Keterampilan yang sangat primer diajarkan pada
pembelajaran sosial adalah keterampilan membaca map, globe, terutama penggunaan
kata-kata untuk mengenal tempat (lokasi) serta konsep arah, Kemudian keterampilan
– keterampilan lainnya yang dapat meningkatkan keterampilan belajar anak keterampilan membuat
keputusan dan keterampilan untuk meningkatkan kompetensinya, keterampilan
sebagai warga negara yang memilki disiplin yang tinggi. Keterampilan-keterampilan
tersebut diajarkan melalui pembelajaran sosial, sebab
keterampilan tersebut sangat bermakna dan dapat membawa banyak manfaat pada anak. Kemudian keterampilan komunikasi seperti
keterampilan menulis dan berbicara yang akan lebih powerfull jika diajarkan
melalui pembelajaran sosial. Saat anak melakukan kegiatan penelitian, dibangun
keterampilan mengumpulkan, mengorganisasikan dan menginterpretasikan data. Kemudian juga dibangun keterampilan
berpikir yaitu membuat hipotesa, membandingkan, menyimpulkan. Selain itu
dibangun keterampilan membuat keputusan yaitu dengan membuat berbagai alternative
dan konsekuensinya, Keterampilan
interpersonal juga akan dilatihkan, seperti melihat berbagai pandangan orang
lain, menerima tanggungjawab, menyelesaikan konflik. Utamanya juga adalah keterampilan
membaca seperti membaca gambar, buku,
peta/denah, table dan grafik.
Untuk membangun keterampilan sebagai warga
negara yang memahami tentang kehidupan demokrasi, maka anak harus mampu
memiliki keterampilan berpikir kritis terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakatnya,
lingkungan terdekatnya, dan bahkan masalah-masalah global yang terjadi saat
ini. Seorang guru perlu mengatur kelas
mereka agar mereka dapat mendisplay
pengumpulan data-data, dapat mendiksuksikannya serta bebas mengutarakan
pendapatnya tentang alasan terjadinya masalah tersebut. Kemudian ada lagi keterampilan yang lain
yaitu keterampilan membuat keputusan melalui pembelajaran kelompok.
Kenyataan memperlihatkan bahwa teknologi terus berkembang dengan pesat
sehingga menimbulkan berbagai perubahan dalam sebuah masyarakat. Nah ..
pembelajaran sosial diharapkan dapat membangun keterampilan kepada anak sehngga
mereka mampu menghadapi perubahan-perubahan tersebut.
C . SIKAP
Memahami dan memiliki sikap seperti menghargai, adil, jujur, disiplin dan
nilai-nilai demokrasi lainnya lebih mudah dibelajarkan ke anak SD dengan
menghubungkan pada kehidupan terdekat mereka, yaitu keluarga, kelas, dan lingkungan
sekitarnya. Sehingga ketika mereka bisa
mengaplikasikan sikap-sikap tersebut di lingkungan terdekat mereka maka akan
lebih mudah mereka nanti mengaplikasikan sikap tersebut secara global, sebagai warga negara dan sebagai
warga dunia.
Warga negara yang beragam suku, budaya, bentuk
fisik dan warna kulit juga dapat diajarkan ke mereka sehingga mereka dapat
menerima perbedaan tersebut dan saling menghargai. Melalui pengajaran konsep bahwa
setiap diri itu unik, mengenal diri dan orang lain dengan
kesamaan dan keberbedaannya dapat membangun konsep diri yang positif pada anak.
Kegiatan berbagi rasa dan perhatian kepada anak lain dapat membelajarkan mereka
saling menyayangi, saling peduli dan saling menghargai. Mereka memahami bahwa
mereka perlu melakukan kontribusi yang positif untuk lingkungannya dan
orang-orang disekitarnya.
Pada pembelajaran sosial dibangun sikap
rasional, sikap kemanusiaan, sikap partisipasi, dan sikap efektif lainnya
sebagai anggota masyarakat yang berdemokrasi. Sikap ini dapat muncul saat anak memiliki semangat keingintahuan yang
tinggi tentang lingkungan sekitarnya dan saat anak memiliki sikap positif dalam
belajar baik di kelas maupun dimana saja mereka berada.
Diterjemahkan
dari :
Social Studies for Early Childhood and Elementary School
Children: Preparing for the 21st Century A Report from NCSS
Task Force on Early Childhood/Elementary Social Studies
Approved by
NCSS Board of Directors, June 1988
Sabtu, 21 Oktober 2017
Pembelajaran Sosial (Bagian Pertama)
Pembelajaran Sosial : Mempersiapkan Skill Abad 21
Tujuan pembelajaran sosial untuk siswa diharapkan mampu menjadikan mereka warga negara yang aktif dan bertanggung jawab serta mampu menjaga kehidupan dekmokratis di negara ini. Seperti yang termaktub pada tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indoensia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Pembelajaran ini sudah dimulai sejak jenjang pendidikan mulai TK-SD kemudian dilanjutkan di jenjang SMP-SMA. Knowledge, skill dan attitude merupakan ranah perkembangan anak yang dibangun melalui pembelajaran sosial. Kelas mereka cerminan dari sebuah gambaran masyarakat. Mereka saling berinteraksi dengan teman, guru dan orang dewasa lainnya. Di dalamnya mereka mengenal aturan dan bagaimana mereka mematuhi aturan yang telah disepakatinya. Jika terjadi konflik, bagaimana mereka menyelesaikan permasalahan konflik tersebut melalui diskusi dan musyawarah yang dibangun oleh guru di kelas tersebut, merujuk pada aturan tertulis yang telah diketahui bersama.
Lihatlah…..sungguh ini merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat yang lebih besar lagi. Mereka belajar berdemokrasi secara tidak langsung, mereka membuat aturan, mereka mematuhi aturan, mereka bermusyawarah untuk menyelesaikan konflik dan mereka bermusyawarah untuk mengambil keputusan. Tanpa latihan dan pemahaman yang diberikan melalui pembelajaran sosial, maka knowledge, skill dan attitude tidak secara otomatis mereka miliki saat mereka lulus dari jenjang pendidikan tersebut.
Pembelajaran sosial meliputi ilmu-limu sosial (politik, ekonomi, budaya) dan history sebuah masyarakat masa lalu, saat ini dan yang akan datang. Anak dibekali pengetahuan dan pemahaman tentang masa lalu agar mereka dapat selaras dalam menjalankan kehidupan pada masyarakat saat ini dan mampu merencanakan kehidupan masa depannya. Anak dibekali pengetahuan tentang tentang negaranya bahkan tentang kehidupan dunia, serta dibekali keterampilan dan attitude agar mereka dapat berpartisipasi secara aktif serta mampu mengkontribusikan dirinya untuk orang lain, di bidang sosial, ekonomi, maupun politik.
Pembelajaran sosial hendaknya bisa menjadikan
anak mampu berpikir kreatif,
penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan serta mampu membaca kondisi sosial di
sekelilingnya, memberikan opini tentang issue yang muncul serta memberikan sebuah
judgement tentangnya. Mereka dapat berpikir
kritis.
Dengan demikian melalui pembelajaran sosial, anak dibangun menjadi warga negara yang partisipatif dan bertanggung jawab di lingkungan terkecil, kelasnya, keluarganya, masyarakatnya, negaranya bahkan perannya sebagai warga dunia.
Menjadikan anak
aktif, punya keingintahuan, serta tahu akan apa yang menjadi keinginan
dan kebutuhannya tentang sebuah infromasi serta punya keterampilan belajar,
dapat dilatih dan diperkaya pada
pembelajaran sosial. Selain itu,
keterampilan- keterampilan tersebut juga diperlukan untuk memproses infromasi sehingga mereka mampu menganalisanya dan
membuat generalisasi serta mampu memadukan informasi baru menjadi sebuah pengetahuan. Mereka mengalami sebuah proses belajar.
Jumat, 20 Oktober 2017
Senin, 24 Maret 2014
Pembelajaran Teks dalam Kurikulum 2013
Posted Tue, 04/23/2013 - 11:52 by sidiknas
Oleh: Mahsun
Kepala Badan Pegembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud
Dari sudut pandang teori semiotika sosial, teks merupakan suatu proses sosial yang berorientasi pada suatu tujuan sosial. Tujuan sosial yang hendak dicapai memiliki ranah-ranah pemunculan yang disebut konteks situasi. Sementara itu, proses sosial akan berlangsung jika terdapat sarana komunikasi yang disebut bahasa. Dengan kata lain, proses sosial akan merefleksikan diri menjadi bahasa dalam konteks situasi tertentu sesuai tujuan proses sosial yang hendak dicapai. Bahasa yang muncul berdasarkan konteks situasi inilah yang menghasilkan register atau bahasa sebagai teks.
Oleh karena konteks situasi pemakaian bahasa itu sangat beragam, maka akan beragam pula jenis teks. Selanjutnya, proses sosial yang berlangsung selalu memiliki muatan nilai-nilai atau norma-norma kultural. Nilai-nilai atau norma-norma kultural yang direalisasikan dalam suatu proses sosial itulah yang disebut genre. Satu genre dapat muncul dalam berbagai jenis teks. Misalnya genre cerita, di antaranya, dapat muncul dalam bentuk teks: cerita ulang, anekdot, eksemplum, dan naratif, dengan struktur teks (struktur berpikir) yang berbeda; tidak berstruktur tunggal seperti dipahami dalam kurikulum bahasa Indonesia pada KTSP, yang semua jenis teks berstruktur: pembuka, isi, dan penutup (periksa KD BI, kelas XI, semester 2, butir: 12.2).
Pada jenis teks cerita ulang (recount) unsur utamanya berupa peristiwa yang di dalamnya menyangkut siapa, mengalami apa, pada waktu lampau, dengan struktur: orientasi (pengenalan pelaku, tempat, dan waktu) diikuti rekaman kejadian; pada teks anekdot, peristiwa yang terdapat pada teks cerita ulang harus menimbulkan krisis. Partisipan yang terlibat bereaksi pada peristiwa itu, sehingga teksnya berstruktur: orientasi, krisis, lalu diikuti reaksi. Berbeda dengan eksemplum, pada jenis teks ini peristiwa yang terdapat pada teks cerita ulang maupun anekdot memunculkan insiden, dan dari insiden itu muncul interpretasi (perenungan). Dengan demikian, teks jenis ini berstruktur: orientasi, insiden, lalu diikuti interpretasi. Adapun jenis teks naratif, peristiwa yang diceritakan harus memunculkan konflik antartokoh atau konflik pelaku dengan dirinya sendiri atau dengan lingkungannya. Oleh karena itu, teks naratif berstruktur: orientasi, komplikasi, dan resolusi. Setiap struktur teks dalam masing-masing jenis teks memiliki perangkat-perangkat kebahasaan yang digunakan untuk mengekspresikan pikiran yang dikehendaki dan secara terpadu diorientasikan pada pencapaian tujuan sosial teks secara menyeluruh. Untuk itu, pembicaraan ihwal satuan leksikal, gramatikal (tata bahasa) dalam pembelajaran berbasis teks harus berupa pembicaraan tentang satuan kebahasaan yang berhubungan dengan struktur berpikir yang menjadi tujuan sosial teks, bukan dalam bentuk serpihan-serpihan.
Dalam teori genre, terdapat dua konteks yang melatarbelakangi kehadiran suatu teks, yaitu konteks budaya (yang di dalamnya ada nilai dan norma kultural yang akan mewejawantahkan diri melalui proses sosial) dan konteks situasi yang di dalamnya terdapat: pesan yang hendak dikomunikasikan (medan/field), pelaku yang dituju (pelibat/tenor), dan format bahasa yang digunakan untuk menyampaikan pesan itu (sarana/mode). Hadirnya konteks budaya dalam teks dapat ditunjukkan, misalnya pada teks laporan dan teks deskripsi. Kedua teks ini sama-sama dikelompokkan ke dalam genre faktual, tetapi memiliki struktur teks dan nilai/norma yang melatarbelakangi berbeda. Teks laporan berstruktur: klasifikasi umum lalu diikuti deskripsi bagian, sedangkan teks deskripsi bersruktur: deskripsi umum diikuti deskripsi bagian-bagian. Satuan leksikogramatikal yang terdapat pada teks laporan harus mendukung nilai-nilai objektif, faktual bukan opini serta bersifat generik, sedangkan pada teks deskripsi satuan leksikogramatika yang merupakan opini ataupun tanggapan yang bersifat subjektif masih dapat dimunculkan dan lebih bersifat spesifik. Itu sebabnya, dalam pembelajaran bahasa berbasis teks tidak boleh dilihat bahasa secara parsial, melainkan secara utuh. Pembelajaran bahasa berbasis teks bukanlah belajar keping-keping atau serpih-serpih tentang bahasa yang cenderung bertujuan menghafal.
Pilihan pada pembelajaran bahasa berbasis teks membawa implikasi metodologis pada pembelajaran yang bertahap. Mulai dari kegiatan guru membangun konteks, dilanjutkan dengan kegiatan pemodelan, membangun teks secara bersama-sama, sampai pada membangun teks secara mandiri. Hal ini dilakukan karena teks merupakan satuan bahasa yang mengandung pikiran dengan struktur yang lengkap. Guru harus benar-benar meyakini bahwa pada akhirnya siswa mampu menyajikan teks secara mandiri.
Kehadiran konteks budaya, selain konteks situasi yang melatarbelakangi lahirnya suatu teks menunjukkan adanya kesejajaran antara pembelajaran berbasis teks (konsep bahasa) dengan filosofi pengembangan Kurikulum 2013, khusunya yang terkait dengan rumusan kebutuhan kompetensi peserta didik dalam bentuk kompetensi inti (KI) atas domein sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kompetensi inti yang menyangkut sikap, baik sikap spiritual (KI: A) maupun sikap sosial (KI: B) terkait dengan konsep kebahasaan tentang nilai, norma kultural, serta konteks sosial yang menjadi dasar terbentuknya register (bahasa sebagai teks); kompetensi inti yang menyangkut pengetahuan (KI: C) dan keterampilan (KI: D) terkait langsung dengan konsep kebahasaan yang berhubungan dengan proses sosial (genre) dan register (bahasa sebagai teks). Selain itu, antarkompetensi dasar (KD) yang dikelompokkan berdasarkan KI tersebut memiliki hubungan pendasaran satu sama lain. Ketercapaian KD dalam kelompok KI: A dan B ditentukan oleh ketercapaian KD dalam kelompok KI: C dan D. KD dalam kelompok KI: A dan B bukan untuk diajarkan melainkan implikasi dari ketercapaian KD dalam kelompok KI: C dan D. Oleh karena itu pula, mengkritisi keberadaan KD-KD dalam Kurikulum 2013, termasuk tentang Kurikulum Bahasa Indonesia secara lepas, berdiri sendiri mengakibatkan munculnya tanggapan yang menyesatkan. Jika rumusan KD tentang sikap dihubungkan dengan KD tentang pengetahuan dan keterampilan, tentu pernyataannya tentang tidak logisnya rumusan KD, dalam Kurikulum 2013, seperti dinyatakan Acep (Kompas, 18 Maret 2013), tidak akan muncul.
Begitu pula jika, KD tentang pengetahuan yang dikritisi itu dihubungkan dengan KD tentang keterampilan, maka pernyataan bahwa Kurikulum 2013 hanya akan menghasilkan siswa penghafal, seperti dinyatakan Bambang (Kompas, 20 Maret 2013) tidak akan lahir. Selanjutnya, jika dibandingkan antara KD yang dirumuskan dalam Kurikulum 2013 dengan KD dalam KTSP, maka terdapat beberapa persamaan dan perbedaan yang mendasar. Persamaannya, kedua kurikulum itu menampilkan teks sebagai butir-butir KD. Sebagai contoh, dalam KTSP (2006) untuk kelas I, dan kelas IV semester 1, ditemukan KD 2.3: “Mendeskripsikan benda-benda di sekitar dan fungsi anggota tubuh dengan kalimat sederhana” dan KD 4.2: “Menulis petunjuk untuk melakukan sesuatu atau penjelasan tentang cara membuat sesuatu”. Bandingkan rumusan KD itu dengan KD dalam Kurikulum 2013 kelas 1 SD pada aspek pengetahuan: (a) KD3.1:“Mengenal Teks deskriptif tentang anggota tubuh dan panca indera …”; (b) KD 3.2: “Mengenal teks petunjuk/arahan tentang perawatan tubuh serta pemeliharaan kesehatan dan …”. Baik pada KTSP maupun pada Kurikulum 2013 teks disajikan sebagai butir-butir yang dicantumkan sebagai KD, tidak seperti yang dinyatakan Bambang. Hanya saja, pada Kurikulum 2013 dibedakan antara KD yang berhubungan dengan aspek pengetahuan, kerampilan, dan sikap. Adapun perbedaannya, KD pada KTSP masih banyak yang disusun berdasarkan pandangan linguistik struktural, misalnya: rumusan KD kelas I semester 1 berikut. KD 3.1: “Membaca nyaring suku kata, kata dengan lafal yang tepat” dan KD 3.2: “Membaca nyaring kalimat sederhana dengan lafal dan intonasi yang tepat”. Kedua rumusan KD ini mencerminkan pembelajaran kompetensi berbahasa yang bersifat struktural, dari kemampuan melafalkan unsur bahasa yang terkecil: suku kata, meningkat ke pelafalan kata, dan diteruskan ke pelafalan kalimat, bahkan sampai ke teks (cermati KD kelas II, semester 2, butir 7.1: “Membaca nyaring teks (15-20 kalimat) dengan memperhatikan lafal dan intonasi yang tepat”. Dengan mencermati KD-KD-nya, maka penyusunan kurikulum bahasa Indonesia pada KTSP dapat dikatakan dilakukan dengan setengah berlandaskan pendekatan struktural dan setengahnya lagi berlandaskan pada pendekatan teks. Bahkan masih terdapat pencampuradukan antara konsep teks dengan paragrap. Cermati KD Kelas X, semester 1: 4.2: “Menulis hasil observasi dalam bentuk paragrap deskriptif”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kurikulum bahasa Indonesia sejak Kurikulum 1994 sampai KTSP yang didengung-dengungkan berbasis kontekstual adalah tidak sepenuhnya benar. Berbeda jauh dengan Kurikulum 2013 yang sepenuhnya berbasisi teks. ***
Kepala Badan Pegembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud
Dari sudut pandang teori semiotika sosial, teks merupakan suatu proses sosial yang berorientasi pada suatu tujuan sosial. Tujuan sosial yang hendak dicapai memiliki ranah-ranah pemunculan yang disebut konteks situasi. Sementara itu, proses sosial akan berlangsung jika terdapat sarana komunikasi yang disebut bahasa. Dengan kata lain, proses sosial akan merefleksikan diri menjadi bahasa dalam konteks situasi tertentu sesuai tujuan proses sosial yang hendak dicapai. Bahasa yang muncul berdasarkan konteks situasi inilah yang menghasilkan register atau bahasa sebagai teks.
Oleh karena konteks situasi pemakaian bahasa itu sangat beragam, maka akan beragam pula jenis teks. Selanjutnya, proses sosial yang berlangsung selalu memiliki muatan nilai-nilai atau norma-norma kultural. Nilai-nilai atau norma-norma kultural yang direalisasikan dalam suatu proses sosial itulah yang disebut genre. Satu genre dapat muncul dalam berbagai jenis teks. Misalnya genre cerita, di antaranya, dapat muncul dalam bentuk teks: cerita ulang, anekdot, eksemplum, dan naratif, dengan struktur teks (struktur berpikir) yang berbeda; tidak berstruktur tunggal seperti dipahami dalam kurikulum bahasa Indonesia pada KTSP, yang semua jenis teks berstruktur: pembuka, isi, dan penutup (periksa KD BI, kelas XI, semester 2, butir: 12.2).
Pada jenis teks cerita ulang (recount) unsur utamanya berupa peristiwa yang di dalamnya menyangkut siapa, mengalami apa, pada waktu lampau, dengan struktur: orientasi (pengenalan pelaku, tempat, dan waktu) diikuti rekaman kejadian; pada teks anekdot, peristiwa yang terdapat pada teks cerita ulang harus menimbulkan krisis. Partisipan yang terlibat bereaksi pada peristiwa itu, sehingga teksnya berstruktur: orientasi, krisis, lalu diikuti reaksi. Berbeda dengan eksemplum, pada jenis teks ini peristiwa yang terdapat pada teks cerita ulang maupun anekdot memunculkan insiden, dan dari insiden itu muncul interpretasi (perenungan). Dengan demikian, teks jenis ini berstruktur: orientasi, insiden, lalu diikuti interpretasi. Adapun jenis teks naratif, peristiwa yang diceritakan harus memunculkan konflik antartokoh atau konflik pelaku dengan dirinya sendiri atau dengan lingkungannya. Oleh karena itu, teks naratif berstruktur: orientasi, komplikasi, dan resolusi. Setiap struktur teks dalam masing-masing jenis teks memiliki perangkat-perangkat kebahasaan yang digunakan untuk mengekspresikan pikiran yang dikehendaki dan secara terpadu diorientasikan pada pencapaian tujuan sosial teks secara menyeluruh. Untuk itu, pembicaraan ihwal satuan leksikal, gramatikal (tata bahasa) dalam pembelajaran berbasis teks harus berupa pembicaraan tentang satuan kebahasaan yang berhubungan dengan struktur berpikir yang menjadi tujuan sosial teks, bukan dalam bentuk serpihan-serpihan.
Dalam teori genre, terdapat dua konteks yang melatarbelakangi kehadiran suatu teks, yaitu konteks budaya (yang di dalamnya ada nilai dan norma kultural yang akan mewejawantahkan diri melalui proses sosial) dan konteks situasi yang di dalamnya terdapat: pesan yang hendak dikomunikasikan (medan/field), pelaku yang dituju (pelibat/tenor), dan format bahasa yang digunakan untuk menyampaikan pesan itu (sarana/mode). Hadirnya konteks budaya dalam teks dapat ditunjukkan, misalnya pada teks laporan dan teks deskripsi. Kedua teks ini sama-sama dikelompokkan ke dalam genre faktual, tetapi memiliki struktur teks dan nilai/norma yang melatarbelakangi berbeda. Teks laporan berstruktur: klasifikasi umum lalu diikuti deskripsi bagian, sedangkan teks deskripsi bersruktur: deskripsi umum diikuti deskripsi bagian-bagian. Satuan leksikogramatikal yang terdapat pada teks laporan harus mendukung nilai-nilai objektif, faktual bukan opini serta bersifat generik, sedangkan pada teks deskripsi satuan leksikogramatika yang merupakan opini ataupun tanggapan yang bersifat subjektif masih dapat dimunculkan dan lebih bersifat spesifik. Itu sebabnya, dalam pembelajaran bahasa berbasis teks tidak boleh dilihat bahasa secara parsial, melainkan secara utuh. Pembelajaran bahasa berbasis teks bukanlah belajar keping-keping atau serpih-serpih tentang bahasa yang cenderung bertujuan menghafal.
Pilihan pada pembelajaran bahasa berbasis teks membawa implikasi metodologis pada pembelajaran yang bertahap. Mulai dari kegiatan guru membangun konteks, dilanjutkan dengan kegiatan pemodelan, membangun teks secara bersama-sama, sampai pada membangun teks secara mandiri. Hal ini dilakukan karena teks merupakan satuan bahasa yang mengandung pikiran dengan struktur yang lengkap. Guru harus benar-benar meyakini bahwa pada akhirnya siswa mampu menyajikan teks secara mandiri.
Kehadiran konteks budaya, selain konteks situasi yang melatarbelakangi lahirnya suatu teks menunjukkan adanya kesejajaran antara pembelajaran berbasis teks (konsep bahasa) dengan filosofi pengembangan Kurikulum 2013, khusunya yang terkait dengan rumusan kebutuhan kompetensi peserta didik dalam bentuk kompetensi inti (KI) atas domein sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kompetensi inti yang menyangkut sikap, baik sikap spiritual (KI: A) maupun sikap sosial (KI: B) terkait dengan konsep kebahasaan tentang nilai, norma kultural, serta konteks sosial yang menjadi dasar terbentuknya register (bahasa sebagai teks); kompetensi inti yang menyangkut pengetahuan (KI: C) dan keterampilan (KI: D) terkait langsung dengan konsep kebahasaan yang berhubungan dengan proses sosial (genre) dan register (bahasa sebagai teks). Selain itu, antarkompetensi dasar (KD) yang dikelompokkan berdasarkan KI tersebut memiliki hubungan pendasaran satu sama lain. Ketercapaian KD dalam kelompok KI: A dan B ditentukan oleh ketercapaian KD dalam kelompok KI: C dan D. KD dalam kelompok KI: A dan B bukan untuk diajarkan melainkan implikasi dari ketercapaian KD dalam kelompok KI: C dan D. Oleh karena itu pula, mengkritisi keberadaan KD-KD dalam Kurikulum 2013, termasuk tentang Kurikulum Bahasa Indonesia secara lepas, berdiri sendiri mengakibatkan munculnya tanggapan yang menyesatkan. Jika rumusan KD tentang sikap dihubungkan dengan KD tentang pengetahuan dan keterampilan, tentu pernyataannya tentang tidak logisnya rumusan KD, dalam Kurikulum 2013, seperti dinyatakan Acep (Kompas, 18 Maret 2013), tidak akan muncul.
Begitu pula jika, KD tentang pengetahuan yang dikritisi itu dihubungkan dengan KD tentang keterampilan, maka pernyataan bahwa Kurikulum 2013 hanya akan menghasilkan siswa penghafal, seperti dinyatakan Bambang (Kompas, 20 Maret 2013) tidak akan lahir. Selanjutnya, jika dibandingkan antara KD yang dirumuskan dalam Kurikulum 2013 dengan KD dalam KTSP, maka terdapat beberapa persamaan dan perbedaan yang mendasar. Persamaannya, kedua kurikulum itu menampilkan teks sebagai butir-butir KD. Sebagai contoh, dalam KTSP (2006) untuk kelas I, dan kelas IV semester 1, ditemukan KD 2.3: “Mendeskripsikan benda-benda di sekitar dan fungsi anggota tubuh dengan kalimat sederhana” dan KD 4.2: “Menulis petunjuk untuk melakukan sesuatu atau penjelasan tentang cara membuat sesuatu”. Bandingkan rumusan KD itu dengan KD dalam Kurikulum 2013 kelas 1 SD pada aspek pengetahuan: (a) KD3.1:“Mengenal Teks deskriptif tentang anggota tubuh dan panca indera …”; (b) KD 3.2: “Mengenal teks petunjuk/arahan tentang perawatan tubuh serta pemeliharaan kesehatan dan …”. Baik pada KTSP maupun pada Kurikulum 2013 teks disajikan sebagai butir-butir yang dicantumkan sebagai KD, tidak seperti yang dinyatakan Bambang. Hanya saja, pada Kurikulum 2013 dibedakan antara KD yang berhubungan dengan aspek pengetahuan, kerampilan, dan sikap. Adapun perbedaannya, KD pada KTSP masih banyak yang disusun berdasarkan pandangan linguistik struktural, misalnya: rumusan KD kelas I semester 1 berikut. KD 3.1: “Membaca nyaring suku kata, kata dengan lafal yang tepat” dan KD 3.2: “Membaca nyaring kalimat sederhana dengan lafal dan intonasi yang tepat”. Kedua rumusan KD ini mencerminkan pembelajaran kompetensi berbahasa yang bersifat struktural, dari kemampuan melafalkan unsur bahasa yang terkecil: suku kata, meningkat ke pelafalan kata, dan diteruskan ke pelafalan kalimat, bahkan sampai ke teks (cermati KD kelas II, semester 2, butir 7.1: “Membaca nyaring teks (15-20 kalimat) dengan memperhatikan lafal dan intonasi yang tepat”. Dengan mencermati KD-KD-nya, maka penyusunan kurikulum bahasa Indonesia pada KTSP dapat dikatakan dilakukan dengan setengah berlandaskan pendekatan struktural dan setengahnya lagi berlandaskan pada pendekatan teks. Bahkan masih terdapat pencampuradukan antara konsep teks dengan paragrap. Cermati KD Kelas X, semester 1: 4.2: “Menulis hasil observasi dalam bentuk paragrap deskriptif”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kurikulum bahasa Indonesia sejak Kurikulum 1994 sampai KTSP yang didengung-dengungkan berbasis kontekstual adalah tidak sepenuhnya benar. Berbeda jauh dengan Kurikulum 2013 yang sepenuhnya berbasisi teks. ***
Rabu, 19 Februari 2014
Belajar dari negara tetangga
Negara yang memuliakan Pendidikan, di antaranya :
1. Malaysia
Pada masa sebelum datangnya Inggris ke tanah melayu pendidikan di malaysi a dikenal dengan cara pendidikan ala pesantren yaitu dengan mengaji dan menghafal alqur’an. Kemudian saat penjajahan Inggirs pendidikan diberikan dengan cara yang berbeda-beda menurut etnik yang ada yaitu melayu, CIna dan India. Mereka dibeda-bedakan perkelasnya tidak digabung sehingga memnyebabkan perpecahan di masyarakatnya. Pasca kemerdekaannya 1957 mulailah pendidikan di Malaysia bangkit dikeluarkan dengan dikeluarkannya Akta Pendidikan 1961 oleh kerajaan yang mendasari Malaysia membangun sistem pendidikan yang memadukan keberagaman bangsa yang ada di Negara tersebut, sehingga timbul rasa kebangsaannya. Dilanjutkan pada masa 1969 Pihak kerajaan telah mewujudkan Dasar Ekonomi Baru (DEB) yang bertujuan mencapai perpaduan negara dan integrasi nasional., termasuk pada sistem pendidikanya. Pada masa tahun 1971-1975, rancangan pendidikan negara ditujukan pada tiga bidang, yaitu: (1) menyatukan sistem pelajaran untuk mencapai perpaduan negara, (2) memperluaskan rancangan pelajaran untuk mencapai keperluan SDM bagi negara , dan (3) memperbaiki mutu pelajaran ke arah mencapai masyarakat yang maju berasaskan sains dan teknologi modern. Kemudian Negara memberlakukan kebijakan bahasa malayu sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah, kemudahan sekolah di luar negri dan juga mendatangkan guru-guru untuk mengajar di sekolah mereka serta meningkatkan mutu pelajaran. DI tahun 1983 diberlakukan sebuah kurikulum untuk sekolah rendah dan tahun 1989 kurikulum untuk sekolah menengah, yang memiliki tujuan yang sama yiatu memadukan semua etnik dan bangsa yang menjadi masyarakat dan warga Negaranya (India, Melayu dan Cina).
Kemudian di era thun 1991 dicanangkan kembali oleh kerajaan sebuah rancangan baru terkait pembangunan diberi nama Dasar pembangunan Negara (DPN) 1991-2000.Termaktub didalamnya tentang sector pendidikan bahwa Kerajaan akan menjadikan system pendidikan Malaysia bertaraf dunia, Pada tahun 1991 pula diperkenalkan oleh mantan perdana mentri Malaysia, Mahatihit Mohammad sebuah Wawasan 2020 atau Visi 2020 Visi ini berisi bahwa negara Malaysia akan menjadi negara maju, modern dan berjaya pada tahun 2020. bukan hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga bidang-bidang politik, sosial, kerohanian, psikologi, serta juga persatuan nasional dan sosial. Semua ini juga melibatkan persoalan keadilan sosial, kestabilan politik, sistem pemerintahan, kualitas hidup, nilai sosial dan kerohanian dan juga keyakinan. Bahkan mempunyai misi utamanya adalah Pendidikan Bermutu sebagai pilar utama untuk mencapai visi 2020 tersebut.
Di Bidang pendidikan, kementrian Pelajaran Malaysia telah menetapkan sebuah tujuan pendidikannya yaitu melahirkan bangsa Malaysia yang taat, setia, bersatupadu, beriman, berakhlak mulia, berilmu, berketrampilan, sejahtera, menyediakan sumber tenaga manusia untuk keperluan kemajuan Negara dan member peluang-peluang pendidikan kepada semua warga Negara.Kemudian di tahun 2007 oleh bekas Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdullah Ahmad Badawi, dicanangkan Pelan Induk Pembangunan Pendidikan (PIPP ) 2006-2010 yang bertujuan untuk melonjakkan tahap kecemerlangan sekolah, yaitu melahirkan rakyat Malaysia yang berilmu pengetahuan, berakhlak mulia, bertanggungjawab, berkemampuan, dan dapat mengangkat imej system pendidikan negara di mata dunia (http//www.mohe.gov.my, 19/2/2010) Melalui PIPP 2006-2010 tersebut, 6 teras strategik digaris, yaitu: (1) Membina negara-bangsa, (2) Membangunkan modal insan, (3) Memperkasakan sekolah kebangsaan, (4) Merapatkan jurang pendidikan, (5) Memartabatkan profesi perguruan, dan (6) Melonjakkan kecemerlangan institusi pendidikan. Kemudian ada program lainnya yaitu Pembangunan pendidikan Malaysia 2001-2010 dan rancangan Malaysia ke 9 atau RM9. Kesemuanya ini secara garis besarnya adalah menjadikan Malaysia maju dalam bidang pendidikan. Semua program itu, selaras diciptakan saling dukung mendukung untuk menjayakan pendidikan di Malaysia. Pembangunan Pendidikan Malaysia 2001-2010 adalah (1) meningkatkan akses kepada pendidikan, (2) meningkatkan ekuiti, (3) meningkatkan kualiti pendidikan, (4) meningkatkan tahap keberkesanan dan kepengurusan pendidikan
Sedangkan tujuan Rancangan Malaysia ke 9 adalah (1) meningkatkan ekonomi dan rantaian nilai yang lebih tinggi.(2) meningkatkan keupayaan pengetahuan dan inovasi serta memupuk minda kelas pertama (3) menangani ketidak seimbangan sosio ekonomi yang berterusan secara membina dan produktif.(4) meningkatkan tahap dan kemampuan kualiti hidup.(5) mengukuhkan keupayaan institusi dan pelaksanaan.
Kesimpulan :
Bahwa Pemerintah Malaysia nampak sangat serius mengatasi masalah di bidang pendidikan sehingga terlihat kemajuannya sejak tahun 1957 sampai saat ini di tahun 2011 baik dari sisi kualitas guru dan pengajarannya serta sisi-sisi lain yang sangat mendukung system pendidikan di Negara tersebut. Negara yang awalnya banyak mengirimkan pelajar ke Negara lain (seperti Indonesia), kondisi saat ini menjadi sebaliknya, bahwa banyak pelajar Indonesia yang belajar di Negara Malaysia. Bidang pendidikan menjadi prioritas utama dalan paling utama bagi pembangunan di Negara tersebut dengan visi 2020 yang dicangkan oleh pemerintahannya.
Referensi : 1. http://www.sosiohumanika-jpssk.com/sh_files/File/4.mior.usm.mei.2 2. http://id.wikipedia.org/wiki/Wawasan_2020 3. http://edukasi.kompasiana.com/2010/02/17/sistem-pendidikan-di-malaysia-sebuah-renungan/ Semua diakses tgl 2 September 2011
Referensi : 1. http://www.sosiohumanika-jpssk.com/sh_files/File/4.mior.usm.mei.2 2. http://id.wikipedia.org/wiki/Wawasan_2020 3. http://edukasi.kompasiana.com/2010/02/17/sistem-pendidikan-di-malaysia-sebuah-renungan/ Semua diakses tgl 2 September 2011
Senin, 03 Mei 2010
7 kebiasaan yang sangat islami...
Bulan Februari lalu saya mengikuti training 7 habbits yang diadakan oleh sebuah lembaga yang sudah memiliki lisensi dari steven covey, selama 2 hari. Pengalaman disana sungguh sangat membuat saya semakin yakin dengan dinul ISLAM. 7 kebiasaan yang dipaparkan dalam training ini meliputi :
1. be proactive
2. begin with the end in mind
3. put first thing first
4. think win-win
5. seek to understand and then to be understood
6. sinergize
7. sharpen the saw
Untuk menjadi seorang manusia yang efektif (istilah hadisnya khairunnas anfaukum linnaas) maka seorang itu harus pandai memanej dirinya sendiri. Dalam sebuah hadistnya rasulullah juga bersabda : "Kullukum ra'in wa kullukum masulun an raiyyatihi" Setiap diri kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap kepemimpinannya tersebut" Everyone is a leader. Sebagai seorang pemimpin maka ada 3 kebiasaan yang jika terus biasa dilakukan maka akam=n menjadi sebuah karakter yang terinternalisasi dalam diri kita. Yang pertama adalah kita harus terbiasa bersikap proaktif. Lawan dari proaktif adalah reaktif, yang sekarang masih menjadi sebuah kebiasaan yang kita jalani. Setiap ada suatu kejadian yang ada dihadapan kita biasanya langsung kita bereaksi. Misalnya anda janjian dengan teman anda pukul 09.00. Anda menjadi orang yang menunggu dengan waktu yang tidak sesuai dengan janji. Perasaan kesel, sebel dan pengen marah rasanya saat-sat yang tidak mengenak itu. Langsung saat temen anda datang, mulailah anda berceloteh melampiaskan kekesalan dan kemarahan anda..Itu salah satu bagian operete kehidupan kita dan masih banyak lagi yang lainnya dan sering kita jalankan kebiasaan yang reaktif. >>>>(to be continued)
1. be proactive
2. begin with the end in mind
3. put first thing first
4. think win-win
5. seek to understand and then to be understood
6. sinergize
7. sharpen the saw
Untuk menjadi seorang manusia yang efektif (istilah hadisnya khairunnas anfaukum linnaas) maka seorang itu harus pandai memanej dirinya sendiri. Dalam sebuah hadistnya rasulullah juga bersabda : "Kullukum ra'in wa kullukum masulun an raiyyatihi" Setiap diri kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap kepemimpinannya tersebut" Everyone is a leader. Sebagai seorang pemimpin maka ada 3 kebiasaan yang jika terus biasa dilakukan maka akam=n menjadi sebuah karakter yang terinternalisasi dalam diri kita. Yang pertama adalah kita harus terbiasa bersikap proaktif. Lawan dari proaktif adalah reaktif, yang sekarang masih menjadi sebuah kebiasaan yang kita jalani. Setiap ada suatu kejadian yang ada dihadapan kita biasanya langsung kita bereaksi. Misalnya anda janjian dengan teman anda pukul 09.00. Anda menjadi orang yang menunggu dengan waktu yang tidak sesuai dengan janji. Perasaan kesel, sebel dan pengen marah rasanya saat-sat yang tidak mengenak itu. Langsung saat temen anda datang, mulailah anda berceloteh melampiaskan kekesalan dan kemarahan anda..Itu salah satu bagian operete kehidupan kita dan masih banyak lagi yang lainnya dan sering kita jalankan kebiasaan yang reaktif. >>>>(to be continued)
Langganan:
Komentar (Atom)
-
Pertanyaan merupakan pintu terbukanya pengetahuan. Melalui pertanyaan, seseorang dapat mencari informasi yang ingin diketahuinya. Dalam ber...
-
Tulisan ini terjemahan dari artikel EDUTOPIA tentang PBL (PROJECT BASED LEARNING) 1. BERIKAN SISWA OTENTIK PERAN DALAM KEGIATAN Si...
-
Tidak terasa sudah lebih dari 9 bulan pembelajaran online berlangsung di semua sekolah. Guru dan siswa banyak mengeluhkan kejenuhan menja...
